Identitas

SINDU

SINDU merupakan kependekan dari Spiritualitas Dan Nilai Dasar Unpar. Asal, dasar, atau sumbernya adalah kekatolikan, kearifan lokal, dan mens et proposita (pemikiran dan cita-cita) pendiri yang dirumuskan dalam statuta, visi dan misi, serta kebijakan Universitas Katolik Parahyangan. Bagi Unpar, SINDU adalah ciri khas atau kekhasannya. SINDU adalah jiwa dari pola pikir, standar penilaian, dan norma perilaku seluruh civitas academica baik sebagai pribadi perorangan maupun sebagai lembaga pendidikan. Dengan adanya SINDU, Unpar dapat dengan mudah dikenal karena dapat segera dibedakan dari Perguruan Tinggi pada umumnya dan Perguruan Tinggi Katolik pada khususnya.

spiritualitas dan nilai-nilai dasar unpar
Spiritualitas dan Nilai-Nilai Dasar UNPAR

Spiritualitas adalah sesuatu yang berasal dari iman yang darinya ditarik atau diperoleh perumusan mengenai maksud dan tujuan, landasan, atau alasan bagi seseorang untuk hidup dan berkarya. Nilai-nilai dasar merupakan sesuatu yang pantas diperjuangkan dengan seluruh diri dan dengannya setiap hal penting dipertimbangkan dan diputuskan. SINDU adalah dasar hidup dan karya manusia Unpar.

SINDU itu terdiri dari tiga nilai dasar, yaitu: humanum (kemanusiaan yang utuh), caritas in veritate (cinta kasih dalam kebenaran), dan bhinika tunggal ika (keberagaman atau pluralisme). Berikut adalah penjelasannya secara singkat.

  1. Humanum. Lengkapnya adalah genus humanum. Arti yang dimaksud adalah jenis manusia yang utuh. Hal ini menunjuk pada berbagai dimensi, unsur, atau bagian pribadi yang tumbuh dan berkembang maksimal, selalu dalam keseimbangan, dan saling terhubung dalam keharmonisan. Pribadi itu meliputi hal fisik, intelektual, moral, sosial, kultural, dan spiritual. Contoh ekstrim manusia yang tidak utuh adalah: orang yang usianya telah dewasa dan gelarnya tinggi tetapi pemikiran dan hidup spiritualnya masih seperti anak SD. Berikut adalah penjelasan mengenai dimensi, unsur, atau bagian pribadi itu:
  2. Fisik. Hal ini berkenaan langsung dengan makan-minum, istirahat, bermain, dan bekerja/belajar. Masing-masing mengharuskan ada atau tersedianya waktu yang memadai. Apabila rentang waktu tak memadai, hendaknya betul-betul diciptakan keadaan atau suasana sehingga kurangnya waktu dapat diisi atau digantikan dengan tingkat kualitas yang mencukupi. Kenyataan bahwa kegiatan terlalu banyak sedangkan istirahat terlalu sedikit menunjukkan betapa rentan orang zaman ini. Ia akan mudah sekali menjadi sakit, yaitu: organ di tubuhnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Apalagi, kenyataan itu ditambah oleh kenyataan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi berkualitas rendah dan dikonsumsinya secara tidak teratur. Ciri yang mudah dikenali dari orang sehat adalah: makan terasa enak, tidur nyenyak, dan bersemangat bekerja/belajar pada waktunya.
  3. Intelektual. Hal ini menunjuk pada kemampuan abstraktif dan asosiatif dari akal-budi dengan ukuran obyektivitas berdasarkan logika. Yang ingin dihindarkan dari hal ini adalah kecenderungan egoistik dan irasional yang umumnya bersifat spontan, liar/tidak teratur, dan sesaat. Juga kecenderungan instingtif yang sekalipun tampak baik tetapi sangat mungkin menyesatkan. Contoh sangat jelas mengenai hal ini: naluri ibu untuk merawat dan melindungi dapat membuat ibu itu merasa mempunyai hak untuk memaksa anaknya untuk berpikir, berbicara, bersikap, dan bertindak seperti dia atau bahkan berbakti
  4. Moral. Yang dimaksudkan di sini adalah hal baik dan buruk. Berbagi, memberi, atau melindungi jelas tindakan yang baik. Sedangkan merebut, merampas, atau mencuri adalah buruk. Atas nama moral, tidak boleh suatu tindakan dinilai atau diukur dengan patokan like or dislike. Bukan juga yang langsung berkaitan dengan kualatpamali, atau suatu lain yang berbau takhyul. Jangan sampai anak berusaha menghabiskan makanannya hanya karena takut ayamnya mati. Atau, jangan pula terjadi bahwa anak yang mendapatkan nilai jelek dikatakan baik atau buruk, dimarahi atau disenangi Tuhan.
  5. Sosial. Hal ini berbicara mengenai penempatan diri sendiri dan orang lain dalam kehidupan pada tempatnya yang benar. Setiap orang memiliki martabat yang sama dalam kedudukan dan kegiatannya. Setiap orang merupakan subyek dari hak dan kewajiban yang harus dihormati. Jelas salah apabila seorang teman ditempatkan atau diperlakukan sebagai kekasih. Pastilah keliru apabila seorang pembantu diperlakukan sebagai pimpinan. Kalaupun guru, ayah, ibu, atau saudara, tetap harus diperlakukan sebagai lawan yang sedapat mungkin dikalahkan ketika sedang dalam suatu pertandingan.
  6. Kultural. Yang ingin disampaikan dengan hal ini adalah kesatuan tempat, kerangka, patokan, dan kebiasaan yang bernilai luhur dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat. Wujudnya yang konkrit adalah tradisi dan seni. Tanpa kultur orang akan kehilangan pijakan dan pegangan, sehingga akan mudah terpapar oleh ideologi tertentu. Jangan sampai karena alasan Indonesia, seni-budaya daerah sendiri dilepaskan atau dilalaikan. Jangan juga karena alasan kunotradisionalkampung/lokal, atau sejenisnya, budaya sendiri ditinggalkan dan membiarkannya digantikan dengan yang sebenarnya asing.
  7. Religius. Pribadi beriman adalah pribadi yang mempunyai hubungan dengan Tuhan Allah sebagai tempat ia bergantung atau menyerahkan diri. Hubungan itu hendaknya menjadi pendorong untuk terus-menerus berbuat baik kapan pun, di mana pun, dan dalam keadaan apa pun. Di sini iman orang itu disebut hidup (viva). Hubungan itu hendaknya juga menjauhkan orang dari pengaruh buruk silsilah, dongeng, tahyul, dan ajaran licik yang menyesatkan. Kalau demikian, imannya eksplisit atau (explicita). Akhirnya, iman itu haruslah mempunyai daya atau kekuatan yang mengubahkan diri sehingga menjadi semakin mirip dengan pribadi yang dikehendaki Tuhan Allah. Iman yang demikian disebut mengerjakan sesuatu atau (operosa).
  8. Caritas in veritate. Arti katanya adalah: cinta-kasih dalam kebenaran. Pemikiran, ucapan, sikap, dan tindakan cinta-kasih melebihi keadilan. Perhitungannya bukan sekedar atau sebatas keseimbangan antara hak dan kewajiban. Bahkan, kalaupun pelaksanaan kewajiban tidak ada, cinta-kasih tetap dapat memberikan apa yang dibutuhkan orang lain. Cinta-kasih ini tidak boleh mengakibatkan kerugian pada yang menerimanya. Karena itu, cinta-kasih itu harus seturut atau sesuai dengan (norma) etiket dan terutama etika. (Ilustrasi persahabatan monyet dengan ikan: cinta-kasih justru mematikan. Tak terpisahkan dengan Veritas in caritate, dengan ilustrasi tikus-tikus yang terancam dengan kehadiran kucing).
  9. Bhinika Tunggal Ika. Bahwa setiap orang itu different, distinctive, unique, wonderful, interesting, unrepeatable, dan irreplaceable adalah kenyataan. Karena itu, hal ini tidak hanya harus diterima tetapi sungguh-sungguh dihormati atau dijunjung tinggi. Dengan penerimaan diri (self-acceptance), seseorang akan bangga dengan dirinya (self-pride), beryukur atas dirinya (self-gratitude), memiliki kepercayaan diri (self-confidence: self assurance and self-determination). Akibat lebih lanjut, ia akan menjadi ramah (bersahabat), produktif, kreatif, dan suka-cita.

Ketiganya harus tampak atau mewujud dalam kehidupan sehari-hari yang berupa prinsip nilai etis hidup bersama sebagai komunitas pendidikan, yaitu: keterbukaan, sikap transformatif, kejujuran, keberpihakan untuk mengutamakan kaum papa (preferential/option for the poor), bonum commune, subsidiaritas, dan nirlaba. Berikut pengertian dan penjelasannya:

  1. Keterbukaan. Hal ini menunjuk keterarahan kepada yang ilahi dan pengakuan akan adanya. Mengakui Tuhan Allah sebagai pencipta berarti menerima orang lain sebagai sesama ciptaan. (Mengakui Allah sebagai Bapa berarti menerima orang lain sebagai saudara-saudari). Selanjutnya hal itu memungkinkan cinta-kasih dalam kebenaran dan akhirnya menerima keberagaman sebagai kebenaran yang harus diterima dan dihormati.
  2. Sikap transformatif. Sikap ini merupakan kesiap-sediaan untuk berubah menjadi lebih baik dan berpartisipasi aktif membangun habitus yang lebih baik juga. Dengan kata lain, setiap pribadi diupayakan menjadi agent of change to the better ones (pelaku perubahan kedalam hal yang lebih baik).
  3. Kejujuran. Yang dimaksudkan adalah adanya atau terjadinya kesesuaian antara pemikiran, perkataan, sikap, dan perbuatan. Yang dikatakan tdak hanya cocok dengan yang ada dalam hati tetapi juga tidak berbeda dengan yang dilakukan.
  4. Keberpihakan kepada yang papa. Ini lebih merupakan pilihan dan komitmen. Di sini orang menolak atau melawan kecenderungannya yang spontan untuk mencari yang kaya, berjabatan, dan kuat. Sebaliknya, ia memilih atau berkeputusan untuk lebih memperhatikan yang miskin, kecil, dan lemah. Prioritas diletakkan pada yang tidak memiliki kebutuhan dasar untuk hidup sehari-hari, yang tidak mempunyai kedudukan apa pun di masyarakat sehingga tidak diperhitungkan, dan yang tidak cukup kuat untuk membela dan mempertahankan diri beserta haknya.
  5. Bonum commune. Yang dimaksudkan di sini adalah kebaikan umum atau kebaikan bersama. Kebaikan umum itu meliputi hal sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ekologis. Sering orang berkata bahwa masalah pertama umumnya adalah ketidakadilan ekonomis. Tercipta jurang antara yang kaya dan miskin. Masalah itu terjadi karena yang duduk dalam pemerintahan lebih mengutamakan kepentingan sendiri atau kelompoknya. Yang terakhir ini terjadi karena hukum tidak diterapkan dengan baik. Hukum mudah dibeli atau digunakan untuk membenarkan yang salah. Hukum itu menjadi demikian karena moralitas yang rendah. Moralitas rendah karena iman kepada Tuhan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk memperbaiki keadaan itu disarankan agar mulai dengan penghayatan iman secara benar. Dari situ akan dihasilkan moralitas yang tinggi, kemudian penerapan hukum yang baik. Sesudahnya, terbentuklah pemerintahan dari orang-orang yang tanpa pamrih, sehingga terciptakah kemakmuran bersama tanpa menghancurkan semesta.
  6. Subsidiaritas. Hal ini menunjuk pada organisasi internal. Prinsip yang dipegang adalah delegalitas dan kolegialitas yang didasari semangat primus inter pares (yang pertama dari yang sama). Yang dapat diurus oleh tingkat bawah dalam hirarki tidak usah diambil-alih oleh yang di atas.
  7. Nirlaba. Arti katanya adalah tidak mencari untung. Tujuan utamanya adalah mengabdi atau melayani tanpa pamrih. Hasil usaha yang ada atau tersisa digunakan untuk peningkatan pelayanan. Hal ini mungkin dilakukan apabila orang sungguh tahu/mengerti, mengalami/merasa, dan yakin/percaya bahwa ia menerima dan memiliki semuanya dari Tuhan secara cuma-cuma. Tuhan itu baik karena melakukan atau memberikan segalanya tanpa mengharapkan imbalan atau balas-jasa.

Lembaga

Untuk menanamkan SINDU dalam diri civitas academica, Unpar membentuk Lembaga Pengembangan Humaniora (LPH). Berikut ini adalah paparan yang bukan merupakan definisi tetapi diskripsi mengenainya. Karena bentuknya yang demikian itu, pengembangan atau penyempurnaan berkenaan dengan pengertian dan penerapan atau pelaksanaannya tetap terbuka.

  1. Badan resmi. LPH adalah kumpulan orang-orang yang karena tujuan bersama, membentuk diri sebagai satu badan dengan struktur/susunan dan cara kerja tertentu. Keresmiannya ditandai dengan pendirian atau pembentukannya oleh otoritas yang legitim dan dengan cara yang sah menurut norma yang berlaku (Statuta Universitas). Dengan begitu, LPH menjadi subyek dengan hak dan kewajiban tertentu.
  2. Kedudukan, peran, dan fungsi. LPH – bersama lembaga lain (LPPKM, LPM, LPPK, dan LPII) – berada langsung dibawah Rektor dan karenanya langsung juga bertanggungjawab kepadanya. Peran dan fungsinya adalah menjadi perpanjangan tangan Rektor dan mendukungnya untuk penanaman Spiritualitas Dan Nilai Dasar Unpar (SINDU) dalam diri civitas academica. Di sini LPH harus berupaya membuat civitas academica memahami SINDU dan menghayatinya dalam kehidupannya sehari-hari.
  3. Tugas. Yang harus dilakukan secara konkrit oleh LPH adalah membuat rumusan dan penjabaran mengenai SINDU sehingga mudah ditangkap dan dimengerti serta menentukan bentuk atau cara penyampaiannya kepada civitas academica.
  4. Kewenangan. Dengan persetujuan Rektor dan dibawah pengawasannya LPH dapat melakukan perekrutan dan koordinasi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan penanaman SINDU.

Bagian-bagiannya

Agar kegiatannya efektif, efisien, dan menjangkau semakin banyak orang, LPH membentuk dalam dirinya divisi-divisi yang harus bekerja-sama secara sinergis. Divisi-divisi itu adalah: MKU (Mata Kuliah Umum), PPI (Pengembangan Potensi Insani), dan OGF (Ongoing Formation/Bina-Lanjut). Berikut adalah penjelasannya satu per satu.

  1. Divisi ini bertugas dan bertanggungjawab untuk menanamkan SINDU kepada mahasiswa melalui mata kuliah umum. Mata kuliah yang dimaksud adalah: Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Logika, Etika, Pancasila, Estetika, Agama Katolik, dan Fenomenologi Agama. Selain itu, di awal perkuliahan atau dalam masa orientasi, divisi ini melakukan “SIAP” (Inisiasi dan Adaptasi) bagi mahasiswa baru yang merupakan tugas dan tanggungjawab Wakil Rektor III berkenaan dengan kesiswaan.
  2. Divisi ini bertugas dan bertanggungjawab untuk menanamkan SINDU kepada mahasiswa melalui geladi, kelas pengembangan diri, dan konseling. Kepada mahasiswa yang telah atau sedang menjalani matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, atau Logika, diberikan geladi hominisasi. Kepada mahasiswa yang telah atau sedang menjalani matakuliah Etika atau Pancasila, diberikan gelada humanisasi. Kepada mahasiswa yang telah atau sedang menjalani matakuliah Estetika, Agama Katolik, atau Fenomenologi Agama, diberikan geladi divinisasi.
  3. Ongoing Formation. Divisi ini bertugas dan bertanggungjawab untuk menanamkan SINDU kepada para dosen, tenaga kependidikan, dan pekarya. Bentuk atau wujudnya lebih merupakan kehadiran teman dalam perjalanan karier, sehingga konsistensi terjaga, kesetiaan terawat, sikap melepaskan tertumbuhkan, dan akhirnya kesediaan menyelesaikan semuanya dengan baik betul-betul tersiapkan.

Upaya/usaha/tindakan atau kegiatan

Nilai-nilai itu harus dicapai, diraih, atau diwujudkan melalui berbagai usaha atau upaya. Di bawah ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh tiap divisi. Ketiga divisi tidak terpisahkan tetapi mengambil bentuk kegiatan yang agak berbeda.

  1. Divisi MKU. Kegiatannya adalah pembelajaran. Yang dilakukan meliputi penetapan materi, penggunaan metode, dan pemilihan bentuk atau cara asesmen. Sebelumnya, butir-butir SINDU diintegrasikan dengan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) yang terdiri dari unsur sikap, ketrampilan umum dan ketrampilan khusus, serta pengetahuan. Setelah itu, dijabarkan kedalam Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) yang lebih rinci dan konkrit dalam Rancangan Pembelajaran Semester (RPS).
  2. Divisi PPI. Selain melakukan kelas pengembangan diri dan konseling, kegiatannya adalah melakukan geladi.
  3. Hominisasi. Arti hurufiahnya adalah pemanusiaan. Geladi ini mulai dengan pemahaman bahwa manusia memiliki kelebihan dibanding makluk lain, yakni akal-budi dan kehendak bebas. Memanusiakan manusia berarti membinanya untuk dapat menggunakan akal-budi dan kehendak bebasnya dengan sebaik-baiknya. Kriteria penggunaan akal-budi adalah logika yang diukur tingkat rasionalitas dan obyektivitasnya serta kehendak bebas yang tampak dalam tingkat tanggungjawabnya.
  4. Humanisasi. Arti katanya adalah pemanusiawian. Yang menjadi pokok pemahaman untuk geladi ini adalah keharusan adanya norma yang disepakati dalam hidup bersama. Intinya adalah ketaatan. Selain itu, kewajiban yang harus dipenuhi dan hak yang semestinya dinikmati setiap orang. Intinya adalah keadilan. Ukuran atau patokan untuk menilai atau mengukurnya bukan insting atau naluri walapun keduanya bisa baik atau bahkan sangat baik. Lebih jauh daripada sekedar rasionalitas dan tanggungjawab. Hanya orang yang manusiawi dapat berpikir, berbicara, bersikap, dan bertindak adil. Orang lain dinilai sama dengan diri sendiri. Rumusan imperatifnya: Perbuatlah apa yang engkau kehendaki orang lain berbuat kepadamu.
  5. Divinisasi. Artinya adalah pengilahian. Pemahaman pokoknya adalah bahwa tidak cukup orang beragama atau memiliki iman. Iman itu harus punya daya yang mengubahkan atau membentuk pribadi orang (performative) menjadi lebih baik. Agar berdaya demikian, iman itu harus hidup (viva), eksplisit (explicita), dan operatif (operosa). Dengan iman seperti itu, orang tidak akan berhenti pada tataran manusiawi tetapi mencapai tingkat yang memungkinkannya melakukan sekurang-kurangnya tiga hal, yaitu: mencintai hingga musuh, mengampuni tanpa batas, dan pemihakan kepada yang miskin, kecil, dan lemah (option for the poor). Hanya manusia yang ilahi dapat melakukan itu.
  6. Divisi OGF. Yang terutama dilakukan divisi ini adalah penyertaan (accompaniment, acompagnamento). Bahasa lainnya adalah menjadi teman seperjalanan. Bentuknya yang konkrit adalah pertemuan. Ada sekurang-kurangnya ada 6 tema pokok yang dibuat sebagai atau berupa modul. Tema-tema itu adalah: 1. Man and woman of communion, 2. How to keep the fire on, 3. How to keep growing, 4. How to be faithful, 5. Letting go, dan 6. Finishing well. Modul lain disiapkan sebagai pelengkap atau variasi.

Semangat

Pelaksanaan penanaman SINDU tidak dimaksudkan untuk dilakukan secara perseorangan, yang satu terpisah dari yang lain, tanpa ikatan dan tujuan bersama, dan hanya lewat pengajaran, arahan, atau anjuran. Dengan bahasa yang positif, penanaman SINDU harus dilakukan dalam dan sebagai komunitas, bersemangat missioner, serta melalui keteladanan.

  1. Komuniter. Pertama-tama setiap orang diajak atau dibimbing untuk menjadi bagian dari komunitas. Berbagai hal sebaiknya dilakukan agar peserta-bina perlahan-lahan mengetahui, merasakan/mengalami, dan akhirnya meyakini bahwa dirinya diterima, dihargai, dan disayangi sebagai bagian dari komunitas. He knows, feels, and believes that he or she is loved.
  2. Missioner. Pada gilirannya peserta-bina dibimbing untuk memahami bahwa pengertian, pengalaman, dan keyakinan yang didapatkan bukan hanya untuk dirinya sendiri. He or she is loved to make others know, feel, and believe that he or she is loved too.
  3. Keteladanan. SINDU harus lebih dulu dimengerti, dihayati, dan dimiliki oleh para pembina (LPH atau setiap orang di dalamnya). Dalam hal ini, penanaman berarti memberikan keteladanan atau contoh (bdk. Thomas van Kempen: Imitatio Christi). Hanya orang yang sudah SINDUIS dapat menjadikan orang lain sama dengan dirinya atau bahkan melebihinya.

Bandung, Februari 2020

Yohanes Driyanto, Drs., JCL.

X